PENDAHULUAN
Provinsi Kalimantan
Selatan mempunyai lahan rawa seluas 191.022 ha yang terdapat di Kabupaten
Barito Kuala, Banjar dan tiga Kabupaten lainnya dengan luas masing-masing
93.365 ha, 49.267 ha dan 48.390 ha. Dari luas tersebut yang sudah dimanfaatkan
baru mencapai 155.860 ha (81,59%) dari total luas potensi lahan rawa di
Provinsi Kalimantan Selatan (Bakhri, 1993).
Besarnya luasan lahan
rawa yang terlantar seperti tersebut di atas disebabkan oleh adanya hambatan
internal lahan rawa berupa sifat fisika, kimia, biologi, tata air dan sosial
ekonomi yang menghambat kegiatan budidaya tanaman. Sifat kimia lahan yang
menghambat antara lain: kemasaman dan kesuburan tanah yang rendah (miskin
hara). Sifat fisika yang menghambat adalah adanya penyusutan ketebalan
(subsidence) dan kondisi fisik lahan. Faktor tata air yang menghambat adalah
adanya variasi genangan. Kendala biologis berupa tingginya serangan hama dan
penyakit serta infeksi gulma. Kendala sosial ekonomi di daerah rawa meliputi: (a)
rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan petani, (b) terbatasnya tenaga dan
modal petani yang menyebabkan timbulnya kesulitan dan lambannya adopsi
teknologi baru. Kelembagaan agribisnis seperti penyediaan sarana produksi,
pengolahan pasca panen, pemasaran hasil, sistem informasi dan penyuluhan serta
aksesibilitas lokasi masih terbatas dan belum berkembang serta berfungsi secara
baik.
Upaya memproduktifkan
kembali lahan rawa terlantar dapat dilakukan melalui pembangunan hutan rakyat
dengan teknik agroforestry berbasis jenis lokal (indigenous species) yang
dilakukan secara partisipatif. Pembangunan hutan rakyat tersebut diharapkan
dapat memulihkan dan meningkatkan fungsi ekologi serta ekonomi lahan rawa di
Provinsi
Kalimantan Selatan.
Jelutung rawa (Dyera pollyphylla Miq. Steenis atau
sinonim dengan D. lowii Hook F)
merupakan jenis pohon lokal (indigenous tree species) hutan rawa yang
prospektif untuk dikembangkan pada hutan rakyat di lahan rawa karena keunggulan
ekologi dan ekonomi yang dimilikinya. Jelutung rawa mempunyai daya adaptasi
yang baik dan teruji pada lahan rawa, pertumbuhannya relatif cepat dan dapat
dibudidayakan dengan manipulasi lahan yang minimal, mempunyai daya adaptasi yang baik dan
telah teruji pada lahan rawa mempunyai pertumbuhan yang cepat (riap diameter
2,0 – 2,5 cm/tahun, riap tinggi 1,6 – 1,8 m/tahun) dapat dibudidayakan dengan
manipulasi lahan minimal mempunyai hasil ganda, getah (untuk permen karet,
kosmetik, isolator) dan kayu (untuk pencil slate, vinir, moulding) sudah
dikenal dan dimanfaatkan lama oleh masyarakat dapat dibudidayakan seperti
tanaman karet, pada masa produktif disadap getahnya, pada akhir daur
dimanfaatkan kayunya.
BUDIDAYA POHON
JELUTUNG (Dyera spp.)
Pohon jelutung berbentuk
silindris, tingginya bias mencapai 25-45 m, dan diameternya bisa mencapai 100
cm. Kulitnya rata, berwarna abu-abu kehitam-hitaman, dan bertekstur kasar.
Cabangnya tumbuh pada batang pohon setiap 3-15 m. Bentuk daunnya memanjang,
pada bagian ujungnya melebar dan membentuk rokset. Sebanyak 4-8 helai daun
tunggal itu duduk melingkar pada ranting. Jelutung berbunga dua kali setahun.
Bunga malainya berwarna putih, dan buahnya berbentuk polong. Apabila sudah
matang, buahnya pecah untuk menyebarkan biji-bijinya yang berukuran kecil dan
bersayap ke tempat di sekitarnya.
1.
Kesesuaian Lahan
Jelutung tumbuh baik di
daerah hutan hujan tropis yang beriklim tipe A dan tipe B menurut Schmidt &
Ferguson; tanah berpasir, tanah liat, dan tanah rawa; dengan ketinggian tempat
tumbuhnya 20-80 m dari permukaan laut.
Adapun proses budidaya
jelutung rawa :
2.
Pembibitan
Jelutung
rawa berbuah setiap tahun, mulai berbunga pada bulan November-Desember dan buah
telah matang (dapat dipanen) bulan Mei-Juni (tergantung musim). Masa simpan
benih pendek yakni 1 - 2 bulan maka sebaiknya setelah dipanen benih langsung
dikecambahkan. Benih yang baik akan mul;ai berkecambah setelah 1 minggu
penyemaian kemudian akan tumbuh sepasang
kotiledon, pada saat ini kecambah sudah bisa dipindahkan ke polybag. Pada fase
ini perlu kehati-hatian dan harus orang yang berpengalaman karena batang
kecambah lunak dan mudah patah. Setelah bibit berumur 8 - 10 bulan maka bibit
sudah siap dipindahkan ke lapangan. Kriteria bibit sudah siap tanam : Tinggi
antara 35 - 50 cm, diameter batang 0,5 - 0,7 cm, jumklah daun 8 - 12 helai,
bentuk batang lurus, bentuk batang lurus dan terbebas dari serangan hama dan
penyakit.
3.
Penyiapan Lahan
Penyipan lahan cukup dilakukan dengan
membuat jalur tanaman selebar 1 - 1,5 m karena tanaman jelutung muda masih
butuh naungan, pembersihan lahan dapat dilakukan secara manual maupun dengan
menggunakan herbisida. Dalam penyiapan lahan sebaiknya didesai dengan emmbuat
sekat bakar yang berfungsi sebagai pelindung tanaman dari bahaya kebakaran
lahan.
4.
Penanaman
-
Untuk penanaman murni maupun
rehabilitasi kawasan hutan jarak tanam yang dianjurkan adalah 4 x 5 m atau 5 x
5 m. Pada umur 5 tahun dapat dilakukan penjarangan sehingga jarak tanamnya
menjadi 8 x 8 atau 8 x 10 m. Tapi alangkah baiknya tidak dilakukan penjarangan
karena sayang kalau ditebang...
-
Bagi yang memiliki lahan terbatas
dan sudah terlanjur ditanami tanaman kopi, kelapa sawit dan atau kelapa dalam
jangan khawatir masih bisa ditanami jelutung dengan sistem tumpang sari. Jarak
tanam disesuaikan dengan jarak tanam tanaman pokok, pola tanamnya diagonal
(mata lima) seperti mata dadu lima, kayu jelutungnya ditanam ditengah-tengah
tanaman pokok. Untuk penanam di sela-sela tanaman sawit dianjurkan umur kelapa
sawit di atas 5 tahun, dengan asumsi bahwa masa produkstif kelapa sawit di lahan
gambut 5 - 15 tahun, jadi pada saat kelapa sawit berumur 15 tahun tanaman
jelutung sudah berumur 10 tahun, sehingga produksi kelapa sawit mulai berkurang
pohon jelutung sudah bisa di sadap.
5.
Pemeliharaan
- Untuk penanaman murni pemeliharaan yang paling penting adalah
pada tahun ke-1 setelah tanam, berupa penyiangan, pendangiran, penyulaman,
pemupukan (jika ada modal) dan pemberantasan hama dan penyakit (jika
diperlukan).
- Sedangkan pemeliharaan tanaman jelutung yang ditanam disela-sela
tanaman perkebunan (tumpang sari) pemeliharaan relativ lebih mudah, karena
komponen pemeliharaan sudah menjadi satu dengan pemeliharaan tanaman pokok.
MANFAAT EKONOMIS
JELUTUNG
Jelutung sebagai komoditi
pohon di lahan rawa tentu memiliki beberapa keunggulan ekonomis yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat lokal untuk pengembangan ekonomi mereka, hal
tersebut antara lain adalah:
A. Getah
Pohon jelutung
menghasilkan getah berwarna putih. Penyadapan getah jelutung dilakukan padas
pohon jelutung yang berdiameter lebih-kurang 20 cm. Sekali penyadapan
menghasilkan getah jelutung 0,1-0,6 kg/pohon. Setahun penyadapan getah jelutung
bisa dilakukan 40 kali. Sebagai gambaran, dengan asumsi harga getah jelutung
dipasaran sebesar Rp 3.000,-/kg, dengan jumlah pohon 200 pohon/ha, maka nilai ekonomis
getah jelutung per hektar Rp 2.400.000,- – Rp 13.440.000,-.
B. Kayu
Setelah pohon jelutung
tidak lagi menghasilkan getahnya, pohonnya bisa ditebang untuk dimanfaatkan
kayunya. Kayu jelutung dapat digunakan untuk bahan: cetakan bangunan, meja
gambar, kelom, ukiran, sepasiter baterai, kayu lapis dan pensil.
Menurut
perencanaan pembangunan hutan rakyat, pertumbuhan diameter pohon jelutung
rata-rata 1,58 cm/tahun, dan dengan umur masak tebangnya 35 tahun, maka
rata-rata diameter pohonnya lebih besar 50 cm. Dengan asumsi rata-rata tinggi
pohon bebas cabang 15 m, volume rata-rata 2,94 m3, jumlah pohon 200/ha, dan
harga kayu di pasaran Rp. 200.000,-/m3, maka nilai kayu jelutung per ha Rp.
117.600.000,-
JELUTUNG UNTUK HUTAN
RAKYAT DI LAHAN RAWA
Keberhasilan pembangunan
hutan rakyat di lahan rawa salah satunya ditentukan oleh faktor pemilihan jenis
yang tepat dari aspek ekonomi, sosial budaya dan ekologis. Pemilihan jelutung
untuk hutan rakyat di lahan rawa didasari oleh alasan sebagai berikut.
1.
Kemampuan beradaptasi pada lahan
rawa telah teruji. Daya adaptasi yang baik pada lahan rawa merupakan syarat
mutlak bagi suatu jenis pohon yang akan digunakan untuk merehabilitasi lahan
rawa terdegradasi. Jelutung mempunyai daya adaptasi yang baik pada lahan rawa
yang selalu tergenang atau tergenang berkala.
2.
Pertumbuhan yang relatif cepat.
Jelutung mempunyai pertumbuhan yang relatif cepat, pada kondisi alami riap
diameter pohon berkisar antara 1,5 – 2,0 cm per tahun (Bastoni dan Riyanto,
1999). Pohon jelutung yang dibudidayakan dengan pemeliharaan semi insentif riap
diameternya dapat mencapai 2,0 – 2,5 cm per tahun (Bastoni, 2001).
3.
Dapat dibudidayakan dengan
manipulasi lahan yang minimal. Jelutung dapat dikembangkan untuk hutan rakyat
di lahan rawa dengan gangguan terhadap lahan yang sangat minimal. Hal ini
dimungkinkan sebab penanaman jelutung di lahan rawa dapat dilakukan tanpa
pembuatan kanal untuk sistem drainase. Pembuatan kanal merupakan bentuk
gangguan berat pada lahan yang berdampak negatif, seperti: terjadinya perubahan
status hidrologi dari kondisi tergenang menjadi tidak tergenang, terjadinya penurunan
tebal lapisan (subsidence) dan menyebabkan sifat kering tak balik. Kondisi tersebut
menyebabkan lahan rawa menjadi sangat rawan kebakaran pada musim kemarau.
4.
Hasil ganda (getah dan kayu).
Pengembangan jelutung mempunyai prospek yang baik karena kedua jenis produk
pohon jelutung (getah dan kayu) memiliki banyak manfaat. Kayu jelutung berwarna
putih kekuningan, bertekstur halus, arah serat lurus dengan permukaan kayu yang
lici mengkilap. Sifat kayu jelutung tersebut sangat baik digunakan sebagai bahan
baku industri mebel, plywood, moulding, pulp, patung dan pencil slate. Getah
jelutung dapat digunakan sebagai bahan baku permen karet, isolator dan soft
compound ban. Pasar kayu jelutung di dalam negeri relatif baik, hal ini
disebabkan oleh kebutuhan bahan baku industri pencil slate yang mencapai
180.670 m3 per tahun (Bastoni dan Lukman, 2004).
5.
Masukan (input) biaya budidaya
relatif rendah. Bastoni dan Karyaatmadja (2003) menyatakan bahwa dalam jangka
waktu tiga tahun biaya yang dikeluarkan pada pembangunan hutan tanaman jenis
jelutung untuk bibit, penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan sekitar
Rp2,88 juta per ha lahan.
6.
masyarakat telah mengenal
jelutung. Jelutung dapat dibudidayakan seperti tanaman karet, yaitu pada masa
produktif disadap getahnya dan pada saat produktivitas getahnya menurun dapat
dimanfaatkan kayunya. Pola budidaya jelutung mirip dengan karet, yaitu hasil
getah mulai umur 8-10 tahun sampai sepanjang daur dan hasil kayu pada akhir
daur. Kemiripan budidaya jelutung dengan karet menjadikan masyarakat tidak
mengalami
kesulitan untuk membudidayakannya.
PENUTUP
Pengembangan hutan rakyat
jenis jelutung untuk memproduktifkan lahan rawa terlantar dapat dilakukan dengan
mengembangkan pola kemitraan. Pembangunan hutan rakyat jenis jelutung dengan
pola kemitraan dapat diinisiasi dan dikembangkan oleh suatu badan usaha kehutanan.
Masyarakat pemilik lahan hanya menyediakan areal untuk pembangunan hutan rakyat
jenis jelutung. Para pengusaha menyiapkan pendanaan, teknologi budidaya dan
infrastruktur pemasaran hasilnya. Skema umum dari bentuk kemitraan pembangunan
hutan rakyat jenis jelutung pada areal milik ini adalah sebuah benefit-cost
sharing antara pemilik lahan dengan perusahaan yang disepakati bersama dalam
suatu dokumen perjanjian.
DAFTAR
PUSTAKA
Harun, Marinus Kristiadi. 2006. Jelutung Rawa; Primadona Baru
Penghasil Getah.http://www.radarbanjarmasin.com,
diakses
pada 24 November 2013
Rotinsilu, M Johanna.dkk. Teknik Budidaya Jelutung, Galam,
dan Ramin. Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya,
Palangkaraya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar