Kamis, 28 Agustus 2014

Jelutung (Dyera pollyphylla)

PENDAHULUAN
Provinsi Kalimantan Selatan mempunyai lahan rawa seluas 191.022 ha yang terdapat di Kabupaten Barito Kuala, Banjar dan tiga Kabupaten lainnya dengan luas masing-masing 93.365 ha, 49.267 ha dan 48.390 ha. Dari luas tersebut yang sudah dimanfaatkan baru mencapai 155.860 ha (81,59%) dari total luas potensi lahan rawa di Provinsi Kalimantan Selatan (Bakhri, 1993).
Besarnya luasan lahan rawa yang terlantar seperti tersebut di atas disebabkan oleh adanya hambatan internal lahan rawa berupa sifat fisika, kimia, biologi, tata air dan sosial ekonomi yang menghambat kegiatan budidaya tanaman. Sifat kimia lahan yang menghambat antara lain: kemasaman dan kesuburan tanah yang rendah (miskin hara). Sifat fisika yang menghambat adalah adanya penyusutan ketebalan (subsidence) dan kondisi fisik lahan. Faktor tata air yang menghambat adalah adanya variasi genangan. Kendala biologis berupa tingginya serangan hama dan penyakit serta infeksi gulma. Kendala sosial ekonomi di daerah rawa meliputi: (a) rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan petani, (b) terbatasnya tenaga dan modal petani yang menyebabkan timbulnya kesulitan dan lambannya adopsi teknologi baru. Kelembagaan agribisnis seperti penyediaan sarana produksi, pengolahan pasca panen, pemasaran hasil, sistem informasi dan penyuluhan serta aksesibilitas lokasi masih terbatas dan belum berkembang serta berfungsi secara baik.
Upaya memproduktifkan kembali lahan rawa terlantar dapat dilakukan melalui pembangunan hutan rakyat dengan teknik agroforestry berbasis jenis lokal (indigenous species) yang dilakukan secara partisipatif. Pembangunan hutan rakyat tersebut diharapkan dapat memulihkan dan meningkatkan fungsi ekologi serta ekonomi lahan rawa di Provinsi
Kalimantan Selatan.

Jelutung rawa (Dyera pollyphylla Miq. Steenis atau sinonim dengan D. lowii Hook F) merupakan jenis pohon lokal (indigenous tree species) hutan rawa yang prospektif untuk dikembangkan pada hutan rakyat di lahan rawa karena keunggulan ekologi dan ekonomi yang dimilikinya. Jelutung rawa mempunyai daya adaptasi yang baik dan teruji pada lahan rawa, pertumbuhannya relatif cepat dan dapat dibudidayakan dengan manipulasi lahan yang minimal, mempunyai daya adaptasi yang baik dan telah teruji pada lahan rawa mempunyai pertumbuhan yang cepat (riap diameter 2,0 – 2,5 cm/tahun, riap tinggi 1,6 – 1,8 m/tahun) dapat dibudidayakan dengan manipulasi lahan minimal mempunyai hasil ganda, getah (untuk permen karet, kosmetik, isolator) dan kayu (untuk pencil slate, vinir, moulding) sudah dikenal dan dimanfaatkan lama oleh masyarakat dapat dibudidayakan seperti tanaman karet, pada masa produktif disadap getahnya, pada akhir daur dimanfaatkan kayunya.
BUDIDAYA POHON JELUTUNG (Dyera spp.)
Pohon jelutung berbentuk silindris, tingginya bias mencapai 25-45 m, dan diameternya bisa mencapai 100 cm. Kulitnya rata, berwarna abu-abu kehitam-hitaman, dan bertekstur kasar. Cabangnya tumbuh pada batang pohon setiap 3-15 m. Bentuk daunnya memanjang, pada bagian ujungnya melebar dan membentuk rokset. Sebanyak 4-8 helai daun tunggal itu duduk melingkar pada ranting. Jelutung berbunga dua kali setahun. Bunga malainya berwarna putih, dan buahnya berbentuk polong. Apabila sudah matang, buahnya pecah untuk menyebarkan biji-bijinya yang berukuran kecil dan bersayap ke tempat di sekitarnya.
1.      Kesesuaian Lahan
Jelutung tumbuh baik di daerah hutan hujan tropis yang beriklim tipe A dan tipe B menurut Schmidt & Ferguson; tanah berpasir, tanah liat, dan tanah rawa; dengan ketinggian tempat tumbuhnya 20-80 m dari permukaan laut.
Adapun proses budidaya jelutung rawa :
2.      Pembibitan
            Jelutung rawa berbuah setiap tahun, mulai berbunga pada bulan November-Desember dan buah telah matang (dapat dipanen) bulan Mei-Juni (tergantung musim). Masa simpan benih pendek yakni 1 - 2 bulan maka sebaiknya setelah dipanen benih langsung dikecambahkan. Benih yang baik akan mul;ai berkecambah setelah 1 minggu penyemaian  kemudian akan tumbuh sepasang kotiledon, pada saat ini kecambah sudah bisa dipindahkan ke polybag. Pada fase ini perlu kehati-hatian dan harus orang yang berpengalaman karena batang kecambah lunak dan mudah patah. Setelah bibit berumur 8 - 10 bulan maka bibit sudah siap dipindahkan ke lapangan. Kriteria bibit sudah siap tanam : Tinggi antara 35 - 50 cm, diameter batang 0,5 - 0,7 cm, jumklah daun 8 - 12 helai, bentuk batang lurus, bentuk batang lurus dan terbebas dari serangan hama dan penyakit.
3.      Penyiapan Lahan
Penyipan lahan cukup dilakukan dengan membuat jalur tanaman selebar 1 - 1,5 m karena tanaman jelutung muda masih butuh naungan, pembersihan lahan dapat dilakukan secara manual maupun dengan menggunakan herbisida. Dalam penyiapan lahan sebaiknya didesai dengan emmbuat sekat bakar yang berfungsi sebagai pelindung tanaman dari bahaya kebakaran lahan.
4.      Penanaman
-          Untuk penanaman murni maupun rehabilitasi kawasan hutan jarak tanam yang dianjurkan adalah 4 x 5 m atau 5 x 5 m. Pada umur 5 tahun dapat dilakukan penjarangan sehingga jarak tanamnya menjadi 8 x 8 atau 8 x 10 m. Tapi alangkah baiknya tidak dilakukan penjarangan karena sayang kalau ditebang...
-          Bagi yang memiliki lahan terbatas dan sudah terlanjur ditanami tanaman kopi, kelapa sawit dan atau kelapa dalam jangan khawatir masih bisa ditanami jelutung dengan sistem tumpang sari. Jarak tanam disesuaikan dengan jarak tanam tanaman pokok, pola tanamnya diagonal (mata lima) seperti mata dadu lima, kayu jelutungnya ditanam ditengah-tengah tanaman pokok. Untuk penanam di sela-sela tanaman sawit dianjurkan umur kelapa sawit di atas 5 tahun, dengan asumsi bahwa masa produkstif kelapa sawit di lahan gambut 5 - 15 tahun, jadi pada saat kelapa sawit berumur 15 tahun tanaman jelutung sudah berumur 10 tahun, sehingga produksi kelapa sawit mulai berkurang pohon jelutung sudah bisa di sadap.
5.       Pemeliharaan
-      Untuk penanaman murni pemeliharaan yang paling penting adalah pada tahun ke-1 setelah tanam, berupa penyiangan, pendangiran, penyulaman, pemupukan (jika ada modal) dan pemberantasan hama dan penyakit (jika diperlukan).
-      Sedangkan pemeliharaan tanaman jelutung yang ditanam disela-sela tanaman perkebunan (tumpang sari) pemeliharaan relativ lebih mudah, karena komponen pemeliharaan sudah menjadi satu dengan pemeliharaan tanaman pokok.

                 MANFAAT EKONOMIS JELUTUNG
Jelutung sebagai komoditi pohon di lahan rawa tentu memiliki beberapa keunggulan ekonomis yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat lokal untuk pengembangan ekonomi mereka, hal tersebut antara lain adalah:
A.    Getah
Pohon jelutung menghasilkan getah berwarna putih. Penyadapan getah jelutung dilakukan padas pohon jelutung yang berdiameter lebih-kurang 20 cm. Sekali penyadapan menghasilkan getah jelutung 0,1-0,6 kg/pohon. Setahun penyadapan getah jelutung bisa dilakukan 40 kali. Sebagai gambaran, dengan asumsi harga getah jelutung dipasaran sebesar Rp 3.000,-/kg, dengan jumlah pohon 200 pohon/ha, maka nilai ekonomis getah jelutung per hektar Rp 2.400.000,- – Rp 13.440.000,-.
B.     Kayu
Setelah pohon jelutung tidak lagi menghasilkan getahnya, pohonnya bisa ditebang untuk dimanfaatkan kayunya. Kayu jelutung dapat digunakan untuk bahan: cetakan bangunan, meja gambar, kelom, ukiran, sepasiter baterai, kayu lapis dan pensil.
Menurut perencanaan pembangunan hutan rakyat, pertumbuhan diameter pohon jelutung rata-rata 1,58 cm/tahun, dan dengan umur masak tebangnya 35 tahun, maka rata-rata diameter pohonnya lebih besar 50 cm. Dengan asumsi rata-rata tinggi pohon bebas cabang 15 m, volume rata-rata 2,94 m3, jumlah pohon 200/ha, dan harga kayu di pasaran Rp. 200.000,-/m3, maka nilai kayu jelutung per ha Rp. 117.600.000,-
JELUTUNG UNTUK HUTAN RAKYAT DI LAHAN RAWA
Keberhasilan pembangunan hutan rakyat di lahan rawa salah satunya ditentukan oleh faktor pemilihan jenis yang tepat dari aspek ekonomi, sosial budaya dan ekologis. Pemilihan jelutung untuk hutan rakyat di lahan rawa didasari oleh alasan sebagai berikut.
1.      Kemampuan beradaptasi pada lahan rawa telah teruji. Daya adaptasi yang baik pada lahan rawa merupakan syarat mutlak bagi suatu jenis pohon yang akan digunakan untuk merehabilitasi lahan rawa terdegradasi. Jelutung mempunyai daya adaptasi yang baik pada lahan rawa yang selalu tergenang atau tergenang berkala.
2.      Pertumbuhan yang relatif cepat. Jelutung mempunyai pertumbuhan yang relatif cepat, pada kondisi alami riap diameter pohon berkisar antara 1,5 – 2,0 cm per tahun (Bastoni dan Riyanto, 1999). Pohon jelutung yang dibudidayakan dengan pemeliharaan semi insentif riap diameternya dapat mencapai 2,0 – 2,5 cm per tahun (Bastoni, 2001).
3.      Dapat dibudidayakan dengan manipulasi lahan yang minimal. Jelutung dapat dikembangkan untuk hutan rakyat di lahan rawa dengan gangguan terhadap lahan yang sangat minimal. Hal ini dimungkinkan sebab penanaman jelutung di lahan rawa dapat dilakukan tanpa pembuatan kanal untuk sistem drainase. Pembuatan kanal merupakan bentuk gangguan berat pada lahan yang berdampak negatif, seperti: terjadinya perubahan status hidrologi dari kondisi tergenang menjadi tidak tergenang, terjadinya penurunan tebal lapisan (subsidence) dan menyebabkan sifat kering tak balik. Kondisi tersebut menyebabkan lahan rawa menjadi sangat rawan kebakaran pada musim kemarau.
4.      Hasil ganda (getah dan kayu). Pengembangan jelutung mempunyai prospek yang baik karena kedua jenis produk pohon jelutung (getah dan kayu) memiliki banyak manfaat. Kayu jelutung berwarna putih kekuningan, bertekstur halus, arah serat lurus dengan permukaan kayu yang lici mengkilap. Sifat kayu jelutung tersebut sangat baik digunakan sebagai bahan baku industri mebel, plywood, moulding, pulp, patung dan pencil slate. Getah jelutung dapat digunakan sebagai bahan baku permen karet, isolator dan soft compound ban. Pasar kayu jelutung di dalam negeri relatif baik, hal ini disebabkan oleh kebutuhan bahan baku industri pencil slate yang mencapai 180.670 m3 per tahun (Bastoni dan Lukman, 2004).
5.      Masukan (input) biaya budidaya relatif rendah. Bastoni dan Karyaatmadja (2003) menyatakan bahwa dalam jangka waktu tiga tahun biaya yang dikeluarkan pada pembangunan hutan tanaman jenis jelutung untuk bibit, penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan sekitar Rp2,88 juta per ha lahan.
6.      masyarakat telah mengenal jelutung. Jelutung dapat dibudidayakan seperti tanaman karet, yaitu pada masa produktif disadap getahnya dan pada saat produktivitas getahnya menurun dapat dimanfaatkan kayunya. Pola budidaya jelutung mirip dengan karet, yaitu hasil getah mulai umur 8-10 tahun sampai sepanjang daur dan hasil kayu pada akhir daur. Kemiripan budidaya jelutung dengan karet menjadikan masyarakat tidak
mengalami kesulitan untuk membudidayakannya.

PENUTUP
Pengembangan hutan rakyat jenis jelutung untuk memproduktifkan lahan rawa terlantar dapat dilakukan dengan mengembangkan pola kemitraan. Pembangunan hutan rakyat jenis jelutung dengan pola kemitraan dapat diinisiasi dan dikembangkan oleh suatu badan usaha kehutanan. Masyarakat pemilik lahan hanya menyediakan areal untuk pembangunan hutan rakyat jenis jelutung. Para pengusaha menyiapkan pendanaan, teknologi budidaya dan infrastruktur pemasaran hasilnya. Skema umum dari bentuk kemitraan pembangunan hutan rakyat jenis jelutung pada areal milik ini adalah sebuah benefit-cost sharing antara pemilik lahan dengan perusahaan yang disepakati bersama dalam suatu dokumen perjanjian.

DAFTAR PUSTAKA
Harun, Marinus Kristiadi. 2006. Jelutung Rawa; Primadona Baru Penghasil Getah.http://www.radarbanjarmasin.com,
diakses pada 24 November 2013
Rotinsilu, M Johanna.dkk. Teknik Budidaya Jelutung, Galam, dan Ramin. Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya, Palangkaraya.

Bahtimi, Y. 2009. Jelutung (Dyera,Spp) Dan Strategi Pengembangannya Di Lahan 

            Rawa Kalimantan Selatan Sebagai Penunjang Peningkatan Ekonomi

Masyarakat Lokal. Fakultas Kahutanan Universitas Labung Mangkurat,

Banjarbaru Kalimantan Selatan

http://hijaualami.wordpress.com (diakses pada tanggal 25 November 2013)

Tidak ada komentar: